KEGAGALAN DAN KEYAKINAN: Bukan gagal 1000 kali, tapi langkah 1000 kali.

IMG_0684

Menunduk dan mencermati kegagalan adalah salah satu cara mempersiapkan kesuksesan  Instagram: @lalefatma

Semester akhir belajar di UNSW-Sydney saya akhirnya belajar bahwa kegagalan dan keyakinan adalah pasangan yang tak bisa dipisahkan.

Walau tentara Mongol yang terkenal dengan pameo ‘jika kamu mendengar tantara Mongol kalah, jangan percaya’. Walau pada waktu itu seluruh wilayah Islam telah direbut kecuali Palestina dan Mesir. Dan walau pemimpin Mongol berkirim surat dan mengatakan ‘Kemana kamu akan berlari, menyerahlah, karena usahamu untuk melawan kami akan GAGAL’, Saifuddin Al Qutuz tetap YAKIN bahwa kemenangan Islam ada di tangannya. Sehingga berkatalah ia pada rakyatnya “Aku akan pergi berperang. Barangsiapa yang memilih untuk berjihad, temannya aku. Barangsiapa yang tidak mau berjihad, pulanglah ke rumahnya. Allah akan memerhatikannya. Dosa kehormatan muslimin yang dicabuli akan ditanggung oleh orang yang tidak turut berjihad”. Lalu ia dan rakyatnya mengalahkan tantara Mongol.

Thariq bin Ziyad YAKIN bahwa kemenangan akan berada di pihak Islam walau pasukan lawan yakin ia akan GAGAL karena pasukan Islam kalah jumlah; 5000 dengan 100.000. Dan KEYAKINAN inilah yang membuatnya membakar PERAHU dan berkata ke pasukannya ‘Lautan ada di belakang kalian, sedangkan musuh ada di hadapan kalian. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian lakukan kecuali bersungguh-sungguh penuh keiikhlasan dan kesabaran’. Lalu ia taklukkan Andalusia.

Fetih Sultan Mehmet (Sultan Muhammad Al-Fatih) pernah GAGAL memimpin pasukannya, tapi ia YAKIN bahwa suatu hari nanti tembok Konstantinopel yang tak pernah tertembus selama ribuan tahun PASTI suatu hari akan runtuh. Dan KEYAKINAN inilah yang membuat Sang Sultan memerintahkan pasukannya untuk membuat MERIAM TERBESAR di zamannya dan melakukan hal yang tak pernah terpikirkan orang lain sebelumnya; mengarungkan PERAHU ke bukit Beyoğlu (Galata/Taksim). Lalu ia taklukan Konstantinopel.

Di awal semester lalu saya yakin sekali bahwa project saya akan berhasil. Tapi kenyataanya saya gagal. Tapi dari kegagalan itu, dua minggu yang lalu, di hari Jum’at saya diminta untuk presentsai di depan ratusan mahasiswa internasional di UNSW tentang kisah GAGAL saya tersebut. Di forum tersebut saya bercerita tentang bagian dari project saya yang berhasil dan bagian mana yang gagal. Disana, saya juga mengutip kisah Thomas Alva Edison ketika diwawancarai seorang wartawan setelah berhasil dengan bohlam-nya yang fenomenal: ‘How does it feel to fail 1000 times’ (Bagaimana rasanya gagal 1000 kali?) dan Edison menjawab ‘I didn’t fail 1000 times, the light bulb was the invention with 1000 steps’ (Saya tidak gagal, bohlam adalah penemuan dengan 1000 langkah’). Dan saya kini YAKIN bahwa KEGAGALAN ini adalah salah satu langkah menuju TUJUAN.

Ditulis ditengah tugas-tugas ganas
Sydney, 29 Oktober 2017

KETIKA ORANG ASING MEMINTAKU MENCIUM KENING ANAKNYA

Shalat Jum’at kedua di Masjid Awqaf, masjid yang baru saja dibuka oleh Sunnah Foundation Australia.

Selesai salam seorang ikhwan yang di sebelah kanan shafnya bersama putranya bertanya: “Syaikh berada di gedung ini kan? Atau dia di negara lain tapi kita cuma liat di LCD?”

Saya menjawab “Dia di lantai dua dan kita di lantai 3, karena di sana sudah full jadi kita kebagian di sini”.

Dan setelah itu, ia sepertinya menjelaskan apapun yang kami bicarakan tadi ke putranya dalam bahasa Arab. Ia kemudian berbalik lagi kepadaku seraya berkata:

‘Ini school holiday jadi saya lebih leluasa mengajak anak saya sholat Jum’at, tapi di hari biasa, saya akan ke sekolah dan meminta izin kepada pihak sekolah, lalu setelah sholat Jum’at saya mengantarkannya kembali ke sekolah’

Ia juga bercerita kalau ia selalu berbicara dalam bahasa Arab dengan anaknya, mengajak anaknya ke majelis-majelis manapun di mana bahasa Arab digunakan. Ia tak mau anaknya kehilangan akar lisannya, bahasa para Nabi dan Rasul, begitu katanya. Meski nanti anaknya adalah native speaker of English, katanya lagi ia pun ingin anaknya tetap fasih berbahasa Arab. Di akhir percakapan, saya mengatakan:

“Anakmu sepertinya visual learners, matanya berbinar mencoba memvisualisasikan apapun yang kalian bicarakan tadi. Maaf saya sedikit menguping karna saya senang belajar dan mengobservasi perkembangan anak. Anyway, saya adalah guru.”

Sang ayah kemudian berkata “Iya, ibunya juga pakai flashcard untuk vocabulary bahasa Arabnya.”

Maka kami berpisah dan mengucap salam. Terakhir sang ayah meminta: “bolehkah kamu mencium kening anak saya dan berdoa untuknya?”

That’s it. Dan seperti biasa saya lupa menanyakan nama seseorang!!!

[Toni Ariwijaya]
Lakemba, Sydney, NSW. AU.
14 Juli 2017

BELAJAR BAHASA DENGAN OTAK EKSAKTA

There will always be, at least, one way to simplify every complexity, as Albert Einstein once explained:

You see, wire telegraph is a kind of a very, very long cat. You pull his tail in New York and his head is meowing in Los Angeles. Do you understand this? And radio operates exactly the same way: you send signals here, they receive them there. The only difference is that there is no cat.

Selalu ada cara untuk menyederhanakan hal-hal rumit, seperti kata Albert Einstein:
“Telegraph itu seperti kucing yang sangat panjang. Kau tarik ekornya di New York lalu kepalanya mengeong di Los Angeles. Maka radio bekerja dengan cara yang hampir sama: kau kirim signal di sini, mereka terima sinyalnya di sana. Bedanya hanya tak ada kucing.”

***

Di pertengahan 2014:
Seorang kakak tingkat yang saat itu sedang sibuk-sibuknya dikejar deadline tugasnya di Australian National Uni (ANU) menyempatkan mengedit dan proof reading aplikasi beasiswa yang saya kirimkan via email sebelum di submit via POS (literally kantor POS).
“Kenapa kok Mbak baik banget? Ketemu aja ga pernah. Saya benar-benar ga tau mesti membalas kebaikannya dengan cara apa”, tanya saya.
Mbak penolong (perantara pertolongan Allah) saya menjawab “Kamu akan jadi pembuktian sekaligus pengobat kekecewaan saya sekian tahun meyakinkan orang eksak untuk melamar beasiswa Australia. Tapi saya dikecewakan dengan alasan klasik yaitu Bahasa Inggris.”

***

“Bahasa-bahasa di dunia ini umumnya memiliki pola yang sama, hanya butuh logika dalam permainan ruang, waktu dan gender”. Kira-kira begitu inti percakapan si Lintang dan Ikal dalam novel legendaris Laskar Pelangi.

Sama seperti pemimpi-pemimpi lainnya, buaian mimpi luar negeri terpatri pada diri ini sejak kecil. Hingga kuliah s1, 10 tahun yang lalu pun, tak pernah mimpi ini padam. Kalau redup sering, dan masalah utama keredupannya adalah saat melihat syarat minimal TOEFL atau IELTS untuk melamar beasiswa. Bermimpi untuk menulis essay panjang lebar dalam bahasa Inggris pun tak pernah, saya yang saat sekolah nilai raport nya selalu 60 (dari skala 100) ini cukup tahu diri bahwa saya adalah produk gagal sebuah kurikulum English as a Foreign Language/Second Language dan menjadi realistis kalau semester 5 di jurusan pendidikan fisika sudah terlalu kronis untuk memperbaiki semuanya.

Saat mimpi hampir terkubur, kutipan percakapan di Laskar Pelangi nya mas Andrea Hirata membawa perubahan yang ajaib. Begini kira-kira saya dulu menganalisis penggalan percakapan Lintang dan Ikal di atas:
Bahasa Inggris memberlakukan sekat dalam perubahan pola kata nya untuk masing-masing gender, semisal femina dan masculina di bahasa perancis.

Seorang pengguna bahasa yang sedang berbicara atau menulis, terjebak dalam dimensi waktu sekarang (present), sehingga untuk kembali ke masa lalu atau berandai-andai ke masa depan ia harus memiliki tiket bernama past and future tenses.

Untuk memahami preposisi, saya berimajinasi sebagai sebuah titik di dekat lingkaran besar. Ketika saya sedang bergerak menuju lingkaran maka ada dua kemungkinan yaitu saya terhenti di permukaan (onto) atau saya berhasil masuk inti (into).

Dengan berimajinasi seperti di atas, dan imajinasi-imajinasi spatial lainya, saya adalah kertas kosong yang siap di corat coret warna-warni. Tak ada lagi rumus-rumus tenses yang kalau di hapal puluhan tahun tak nyangkut-nyangkut. Dalam waktu 6 bulan, dengan perspektif yang saya konstruksi sendiri sejak saat itu bisa mengaplikasikan hukum-hukum tenses hanya dengan buku Raymond Murphy: English Grammar in Use, tanpa perlu kursus atau hijrah ke kampung inggris dll.

Semoga bermanfaat.

Jumat di Australia #1: Identitas

BOWRAL.jpeg

 
Sydney, 06.01.2017
 
Sedikit memutar waktu ke sebuah kenangan akan perkuliahan di University of New South Wales (UNSW). Sore itu dengan semangatnya suami bercerita bahwa di kelas terakhir perkuliahan ‘Intellectual Dissabilities’ beliau mengucapkan terima kasih atas ilmu yang telah banyak beliau terima di kelas tersebut. Tak lupa juga suami mencium tangan dosennya (tepatnya metakkan tangan dosen tersebut ke kening suami). Lalu hal itu membuatnya berkaca-kaca “Why toni?”. Suami pun berujar ”It’s a custom in Indonesia through which student show their gratitude and respect by putting their teacher hand on their forehead”
 
Sayapun heran kenapa suami harus melakukan itu, mereka aalah orang yang lahir dan besar di dunia Barat, mengapa harus kita perlakukan dengan budaya orang Indonesia? Dan ah lagi-lagi, suami saya menampar dengan kata-kata. “Kita boleh sekolah diluar, mengecam pendidikan di luar. Tapi jangan lupa, kita adalah pelajar yang membawa nama Indonesia. Karena satu-satunya yang bisa kita banggakan disini adalah identitas. Jangan sampai kita kuliah diluar negeri kemudian kita kehilangan identitas kita. Jangan”
 
***
 
Malamnya, sayapun juga masuk ke perkuliahan terakhir di semester genap 2016 di mata kuliah ‘Linguistic Approaches to Spoken English’. Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan: “I hope the best for your future”, sedikit demi sedikit mahasiswa lainnya meningalkan kelas perkuliahan. Saya memberanikan diri menghampiri dosen itu dan mencium tangannya. Reaksinya pun sama dengan dosen suami: matanya berkaca-kaca.
Saya tak tau kesan dosen itu terhadap apa yang saya lakukan, tapi saya menyaksikan bagaimana senyum dan tatapan matanya di hari-hari perkuliahan sebelumnya, tak pernah seberbinar malam itu.
 
Mungkin cara ini terlihat sedikit nggak zaman, tapi inilah cara kami untuk terlihat berbeda dengan mahasiswa internasional lainnya. Seperti salah satu stasiun kereta di daerah Bowral yang masih dioperasikan manual (tidak ada campur tangan tehnologi canggih didalamnya). Tapi justru itulah yang membuatnya berbeda.
 
Catatan: pelajar Indonesia di negara manapun mempunyai cara masing-masing untuk tetap menjaga identitas mereka, adapun cerita diatas adalah cara kami untuk menjaganya. Cumanız mübarek olsun. Jumma Mubarak. Salam. TA dan LFYN.

 

TIPS AND TRICKS: WAWANCARA, ESSAY, DAN LGD BEASISWA LPDP 2015

— Lale Fatma Yulia Ningsih, Awardee LPDP 2015 (Agustus) —

PERSIAPAN KEBERANGKATAN SEBELUM INTERVIEW (WAWANCARA)

  1. Berkas

Pengalaman                 : Semua persyaratan berkas yang tercantum di panduan mengikui seleksi harus lengkap karena sebelum masuk untuk mengikuti wawancara ada tim verifikator yang akan memeriksa kelengkapan dokumen. Peserta yang berkasnya telah diverifikasi akan diberikan stempel seperti yang tertera pada gambar

Capture

Tips                              : Urutkan semua berkas berdasarkan urutan yang tertera pada checklist LPDP (seperti tertera pada gambar dibawah)

LPDP BERKAS LIST 1LPDP BERKAS LIST 2

  1. Akomodasi Wawancara

Berminggu-minggu sebelum wawancara sebaiknya mencari akomodasi yang dekat dengan gedung Keuangan Negara karena sebagian besar wawancara LPDP berlokasi di Gedung Keuangan Negara termasuk pada saat saya mengikuti seleksi di Surabaya. Banyak teman-teman yang memilih kontrakan mingguan berkisar Rp. 200.000 – 250.000 baik itu di sekitar kampus Universitas Airlangga maupun yang disekitar Gedung Keuangan Negara.

SAMSUNG CAMERA PICTURES

Jadwal Wawancara LPDP Agustus 2015

  1. Lokasi Wawancara

Survey lokasi wawancara sehari sebelumnya. Pengalaman Agustus lalu, saya survey tempat wawancara sehari sebelum wawancara dan lokasinya sangat mudah karena terletak di jalan besar – Gedung Keuangan Negara Surabaya.

WAWANCARA

  1. Briefing

Panitia telah membuat jadwal bagi setiap peserta seleksi sehingga setiap peserta tidak diwajibkan hadir dari awal sampai akhir. Misalnya wawancara di Surabaya pada bulan Agustus lalu diselenggarakan dari tanggal 26 sampai dengan 28 Agustus. Akan tetapi saya hanya wajib hadir pada jadwal yang telah ditentukan:

  • Verifikasi dokumen : Rabu 26 Agustus 09:00 – 10:00
  • Wawancara : Rabu 26 Agustus 10:30 – 11:15
  • Essay : Kamis 27 Agustus 09:40 – 10:10
  • LGD : Kamis 27 Agustus 10:20 – 11:10

JADWAL WAWANCARA

  1. Wawancara

Setelah memasuki ruangan wawancara, anda akan diminta meletakkan tas pada meja yang telah disediakan dan menunjukkan form yang telah di verified oleh panitia, setelah itu baru dibolehkan untuk menuju meja pewawancara sesuai dengan nomer urut. Waktu itu saya bernomer urut 9, sehingga menuju ke meja nomer sembilan.

Pertanyaan wawancara sebagian besar adalah pertanyaan standar misalnya: (1) apa kontribusi kamu untuk masyarakat (2) kenapa pilih universitas X? Kenapa pilih negara Y? Dsb.

Untuk interview persiapkan dua bahasa kalau tujuannya LN karena saya ketemu dua kasus: (1) Orang yang mempersiapkan interview dengan bahasa Indonesia malah interview-nya full English. (2) Yang mempersiapkan interview bahasa inggris malah full bahasa indonesia. Akibatnya apa? Mood dan konsentrasi rusak di awal karena hal tersebut. Konsentrasi buyar akibatnya kadang pertanyaan dijawab kurang tepat. Kalau yang milih DN biasanya 75% Indonesia selebihnya bahasa inggris.

ESSAY

  1. Essay ditulis selama 30 menit. Usahakan memanfaatkan waktu dengan baik, jangan sampai ada kerangka essay yang terlewat. Pendahuluan, isi, dan kesimpulan. Saya memakai strategi yang disarankan suami: 5 menit untuk mind map, 20 menit untuk nulis essay dan 5 menit untuk review karena tidak ada warning dari panitia, tiba-tiba saja langsung bilang “30 menit waktu anda telah habis”. Jadi banyak teman-teman yang tak bisa menyelesaikan essay tepat waktu, essay masih ngambang tak ada kesimpulan. Essay sebaiknya singkat saja, seperti yang saya jelaskan diatas kerangkanya. Mind map sangat penting agar essay yang kita tulis jelas dan terarah. Dan jangan lupa bawa JAM TANGAN karena hp tidak diperbolehkan untuk dibawa meski hanya untuk melihat waktu. Be well prepared ya.

 

11951940_1054859124525343_1702898308161539175_n

Contoh Mind Map Essay dan LGD

 

  1. Untuk tema essay yang saya dapat di Surabaya sama seperti yang teman-teman Jogja dapat: (a) Dampak positif globalisasi dan cara mempertahankan kearifan lokal sehingga dapat bertahan di era globalisasi (b) Kekerasan pada anak.
  2. Tema yang lain misalnya: (a) hukuman mati untuk pengedar narkoba. (b) UU penghinaan presiden (c) Dibiayai negara kuliah di LN malah kerja di LN-menyangkut nasionalisme (d) hukuman mati koruptor (d) radikalisme agama.
  3. Dari sekian tema diatas pasti ada yang terulang. Jadi cobalah buat mind map tema diatas. Saya buat hampir mind map semua tema essay dan LGD. Saya beruntungnya dapet globalisasi yang malamnya saya buat mind mapnya, jadi ketika lihat tema essay langsung tempur tanpa mikir lagi karena semalamnya sudah dioret-oret. Karena lembar soal tidak boleh dicoret-coret, jadi perlu bawa kertas buat oret-oret tapi panitia hanya memperbolehkan mebawa alat tulis saja dan untung hari itu bawa STICKY NOTES! Sangat sangat membantu.

 LGD

Pengalaman                  : saya dapat tema “perlukah gadget diberikan kepada anak”. Teman yang lain mendapatkan tema ini: (1) Perbudakan oleh kapal penangkap ikan milik Thailand di Maluku (2) Pembatasan penangkapan ikan di Maluku (2) Permendikbud tentang budi pekerti di sekolah.

Tips                                : saya adalah tipe manusia yang meledak-ledak ketika ingin menyampaikan pendapat yang bertentangan dengan orang lain dan berusaha tampil terdepan, tapi ketika LGD saya berusaha menjadi setenang mungkin dan memilih untuk tidak mengajukan diri sebagai moderator seperti yang disarankan banyak blog yang membahas tips lulus wawancara LPDP. Yah mencoba untuk membuat pola saya sendiri. Bahkan ketika mengutarakan pendapat, saya diurutan kedua terakhir ketika mengutarakan pendapat tentang perlukah anak diberikan gadget. Saya berusaha merangkum semua pendapat dengan memberikan pendapat pro maupun kontra.

Intinya adalah jadilah diri sendiri; kalau sekarang kita adalah orang yang bertipe ‘bicara pada waktu tertentu’ berarti saat inilah kita harusnya bicara. Dan apabila sebalikya, saat inilah kita seharusnya mmemainkan kecerdasan emosional unuk tidak meledak-ledak dalam menyampaikan pendapat, saat inilah kita belajar untuk mendengarkan orang lain dan menggabungkannya dengan apa yang ada dalam pikiran kita.

Kalau ada pertanyaan yang tidak terjawab disini, bisa menghububungi saya di lalefatma.yn@gmail.com atau di media sosial facebook: Lale Fatma Yulia Ningsih

Selamat berjuang. “Tembakkanlah anak panahmu keseluruh penjuru bumi, salah satunya pasti akan kena tepat sasaran” (Lale Fatma Yulia Ningsih)

IA YANG TAK BERDETAK

“Dua Garis” [08/05/2015]

Suami tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dua test pack yang menunjukkan tanda positif masih membuatnya belum percaya kalau saya tengah hamil; sebab tak ada mual, tak ada permintaan berbagai macam hal yang mencirikan orang hamil. Tapi suami dan saya sungguh sangat bahagia, it’s just too good to be true.

Baby boy kami memanggilnya, karena menurut suami, kalau janin tak rewel maka yang akan hadir adalah anak laki-laki. Kami pun telah menyediakan nama baginya. Sebuah nama dari bahasa Persia, Turki, Pakistan dan juga China yang berarti pemimpin jujur yang berfikir dan bertindak secepat kilat (cerdas dan tangkas) nan sukses dalam pengembaraannya.

Test Pack Pertama dan Kedua

Test Pack Pertama dan Kedua

***

“Detak Perdana” [25/05/2015]

“We almost burst into tears” adalah sebuah tulisan singkat yang ingin saya post di salah satu media sosial sesaat setelah keluar dari ruang periksa dokter kandungan di Denpasar Bali. Tapi sesat kemudian niat itu saya urungkan, biarlah ia menjadi kenangan tersendiri di hati kami. Sepanjang jalan balik menuju kos kami lebih banyak terdiam, kami larut dalam khayalan masing-masing dan dalam kebahagian yang tak terhingga.

Baby Boy

Baby Boy

***

“Pulang, Demi Baby Boy” [03/06/2015]

Dengan menggunakan obat penguat kandungan saya mengelus baby boy sambil tilawah agar ia kuat naik pesawat—lagi—karena ketidakmampuan ibunya bertahan atas bau-bau dupa yang berseliweran selalu di Bali. Baby boy, kita pulang.

***

“Ia yang Tak Berdetak” [01/06/2015]

“Saya ada kabar buruk ini mbak, janinnya tak ada detak jantungnya”. Setelah itu saya tak ingat apa-apa lagi yang diucapkannya. Segala kata dari dokter kandungan tersebut mental bagai air yang jatuh di daun talas.

Yang saya ingat hanya satu hal, mengabarkan hal ini kepada suami: “Dad, mom just went to the doctor to see my growth. Doctor said, I have no heartbeat inside here. Doctor suggested that I should take another USG check next week. If my condition is just the same, they will take me out from mom’s womb. Please do pray for me for this critical 7 days. Love you dad!”

Kami telah siap apapun yang terjadi, meskipun ia bertahan dan akan menjadi anak yang spesial. Kami telah siap dengan semua kemungkinan yang ada. Itulah kesimpulan percapakan kami yang panjang. Mungkin inilah takdir Allah, suami mendapatkan beasiswa untuk pasca sarjana di bidang special education. KAMI SIAP DENGAN SEGALA KEMUNGKINAN!

SAMSUNG CAMERA PICTURES

Baby Boy Tak Berdetak

***

“Kami Tempuh Segala Cara” [04/06/2015]

Atas saran dari beberapa teman, saya kemudian mencari dokter lain untuk check ulang, bahkan kalau perlu sampai 2-3 kali lagi. “Kita cari dokter lain, second opinion, KITA TEMPUH SEGALA CARA!!!”

RSIA P*rm*t* h*t* adalah RSIA yang dianggap paling bagus di Mataram yang disarankan beberapa kawan, tapi pemeriksaan menunjukkan hal yang sama “dead conceptus”. Bahkan dokter senior ini mengatakan bahwa janin telah tak ada lama semenjak saya masih di Bali. Semenjak ia baru berusia 1.5 bulan. Dokter menyarankan saya harus dikuret lusa agar tak terjadi infeksi.

Dalam perjalanan pulang, saya kembali bertekad memeriksakannya ke dokter lain. KAMI TEMPUH SEGALA CARA!

Baby Boy "Dead Conceptus"

Baby Boy “Dead Conceptus”

***

“Sakit Yang Tak Terkira” [05/06/2015]

Sesaat sebelum berbuka puasa, saya kembali menghebohkan seisi rumah, pendarahan terjadi, saya harus segera dikuret. Bahkan dikuret dokter laki-laki. Tak ada pilihan lagi untuk dokter perempuan, dokter perempuan tersebut adalah dokter yang pernah menangani salah seorang akhwat dan nyawa akhwat tersebut tak tertolong. Suami tak mau ambil resiko. Sedang kalau saya dibawa ke Mataram, kondisi saya akan semakin buruk. Keputusan telah diambil: dokter yang menangani saya adalah dokter yang setiap Selasa dan Jum’at praktik di rumah! Dokter laki-laki yang selalu saya hindari!

Dalam sakit yang tak terperi saya berdoa agar kelak, suatu saat nanti salah satu anak perempuan saya menjadi dokter kandungan.

***

“And to HIM Belongs All Things” [05/06/2015]

Sedetik setelah obat bius berkerja—proses setengah jam terasa sedetik—saya terbangun dan gerakan reflek mengelus perut yang telah rata. Perasaan sungguh tak menentu, namun hidup untuk terus berjalan; sesaat setelah pengaruh obat bius hilang saya melayani pemesanan jilbab dan pashmina Turki, merespon pemesanan buku amatiran kami dari FLP Turki. Dan, pesan dari suami membuat saya tertegun “You and I, we are resilience couple, we are stronger than a pinnacle of rocks. I was crying but now I am not. Jangan dipikirkan apa-apa yang telah diambil dari kita. In sha Allah akan ada ganti yang lebih baik. Mungkin selama ini kita masih perlu belajar ilmu ikhlas”.

Berbagai hal bergelanyut dalam pikiran hingga tak bisa tidur, saya lantas mencari channel yang bisa mengusir kebosanan. Sebuah channel sedang menayangkan sholat isya live dari Mekah dan terjemahan pertama yang saya baca dalam salah satu rakaat imam tersebut adalah “AND TO HIM BELONG ALL THINGS”

Bahwa kami juga suatu saat nanti akan kembali. Allahu Akbar. Ya Allah. Kami ikhlaskan baby boy………..

Mengikhlaskan Baby Boy

Mengikhlaskan Baby Boy

Note: beberapa kejadian menyedihkan saya hapus, biarkan ia menjadi kenangan saya dan suami.

GRANDE RUE DE PÉRA: JALAN BARU

Spoiler: Sebuah novel tentang seorang yang mencoba berlari dari kehidupan bangsawannya, tapi takdir tetaplah takdir; ia seperti bayangan, sejauh apapun engkau berlari ia akan terus melekat erat mengikutimu. Sebuah catatan harian yang membuatnya menginjakkan kaki disebuah jalan bernama Grande Rue de Péra, disini dia kembali ke titik semula; bertemu dengan seseorang dari garis keturunan kerajaan.

***

KEPINGAN I
GRANDE RUE DE PÉRA; Jalan Baru.

MAKHLUK senantiasa hidup dengan harapan-harapan; harapan seorang ayah agar esok bisa pulang bukan sekedar membawa uang Rp.5000 dengan senyuman “nak hari ini kita makan ayam”, harapan seorang guru agar murid-muridnya menjadi sosok yang lebih baik daripadanya dan mungkin juga harapan sebatang tunas muda untuk bertemu hujan di musim kemarau. Adapula sebagian makhluk yang menjalani kehidupan setengah robot, mengikuti norma-norma adat yang berlaku dan terlebih memenuhi program yang telah ditentukan kedua orang-tua hanya karena makhluk hidup yang ditakdirkan menjadi manusia itu terlahir dengan darah yang berbeda, karena ia seorang: bangsawan.

Pembaca, izinkan ku sampaikan sesuatu sebelum anda terlalu jauh berkhayal tentang kisah perjalanan kehidupan seorang yang terlahir berdarah biru. Ini bukanlah kisah dongeng tentang putri-raja yang setelah beberapa ratus halaman anda akan menemukan tulisan “and they lived happily ever after” bukan pula tentang kisah romantis nan herois yang akan membuat anda melayang terbang ke awang-awang. (Juga) bukan tentang kisah sang pemimpi yang akhirnya menginjak tanah impian. Gambaran tentang kisah ini kurang lebihnya mengutip beberapa kalimat dalam novel Shirley:

“Calm your expectation; reduce them to a lowly standard. Something real, cool and solid lies before you; something unromantic as Monday morning, when all who ave work wake with the consciousness that they must rise and betake themselves thereto.”

***

Karena dibangun dengan arsitektur di zaman Belanda rumah ini senantiasa terjaga dari panas menyengat musim panas pertengahan tahun. Jendela menjulang tinggi memberikan keleluasaan udara menari-nari didalam bangunan klasik era penjajahan. Jendela kamar berhadapan langsung dengan gerbang yang usianya lebih tua dari kakek; sebuah gerbang bertulis Bondjeroek, ejaan lama untuk desa Bonjeruk. Dari gerbang kualihkan tatapan nanar ke koper coklat yang berisi perlengkapan seadanya nanti dinegeri Kiwi. Nafas panjang kuhela berkali-kali untuk kehidupan setengah robot yang kujalani semenjak usia belia—adapun asal muasal manusia setengah robot ini ada baiknya saya ceritakan di fragmen lain.

Kuedarkan pandangan ke rak buku untuk mencari buku yang tepat menemani perjalanan berjam-jam menuju bandara Auckland. Tracy Chevalier; Girl with Pearl Earring, Sapardi Djoko Damono; Hujan Bulan Juni, Danielle Steel; Legacy. Eh tapi ada yang salah, sebuah buku berwarna ungu muda terselip diantara Legacy dan Hujan Bulan Juni.

Ah ya, itu buku catatan yang beberapa bulan sebelum wisuda kutemukan di perpustakaan, tergeletak begitu saja didekat tumpukan buku referensi skripsiku. Sampai sekarang entah apa arti Kr36:410049N285718S di sampul depannya. Yang menarik adalah sebuah prosa satu bait dihalaman pertamanya:

It’s enough for me to love you from distance-loving you is just like being in love to the beaches, to the mountains and to the falls-I can freely love them but they cannot be mine. Grande Rue de Péra 03/09/2011.

Sepertinya menarik untuk dibawa bersama dengan Legacy-nya Danielle Steel. Pilihan yang tepat, kisah perjalanan seorang Indian Amerika Dakota Sioux ke Prancis mengejar cintanya bersanding dengan buku harian catatan cinta yang tak terkejar. Hidup memang tentang sebuah ironi. Tunggu! Prancis-Amerika? Dan dalam hitungan detik kalap kubuka salah satu translation engine dari bahasa Prancis ke bahasa Inggris : Grande Rue de Péra: Independence Avenue. Independence Avenue. Search. Enter! Washington DC-USA.

***

Entah kegilaan apa yang menyerangku sehingga kualihkan layar perahuku menuju sebuah kota dengan Grande Rue de Péra. Kuputuskan mengikuti setiap jejak pemilik buku catatan harian ini. Mungkin rasa penasaran ini hanya sebuah tameng akan rasa ingin lepas dari kehidupan setengah robot, ku ingin pergi lebih jauh bukan hanya sekedar negara tetangga. Ah, mungkin, mungkin saja. Benang kusut tentang hidup, tentang sebuah jalan ini buyar ketika seseorang preman berteriak kepada ibu disebelah bangkuku.
“Bu, ini kursi saya. Cepat pindah!”
“Tapi saya tadi udah bilang ke supirnya kalau kita tukar tempat duduk”
“Itu urusan ibu dengan supirnya, saya gak mau tau! Ini kursi saya!”
Ya Allah dosa apa yang hamba perbuat? Tidakkah cukup menderita perjalanan dua hari dua malam Lombok-Jakarta demi wawancara beasiswa? Sekarang sebangku dengan preman pula. Ada rasa menyesal beasiswa ke New Zealand kubatalkan begitu saja demi sebuah rasa penasaran akan sebuah catatan harian berwarna ungu muda. Untuk sementara sepertinya aku harus bersahabat dengan kenyataan. Demi sebuah jalan baru, jalan kemerdekaan jauh dari tatapan norma-norma adat. Jalan menuju Grande Rue de Péra, Independence Avenue, Jalan Merdeka.

—Bersambung ke KEPINGAN II: Roman Picisan Sang Preman—

A CREPUSCULAR: HUJAN BULAN JUNI

A CREPUSCULAR: HUJAN BULAN JUNI

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu
tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu
tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Tak apa-apa ya. Sesekali kita membahas salah satu puisi kesayangan saya. Puisi diatas judulnya Hujan Bulan Juni. Saya suka puisi ini bukan hanya karena saya lahir di bulan Juni, tapi juga disebabkan puisi ini penuh makna.

Kalau dirunut-runut dari tahun puisi ini diciptakan, dimasa itu musim relatif stabil – maksud saya musimnya tak galau – jadi bulan juni sudah tak mungkin lagi akan ada turun hujan karena sudah masuk musim kemarau. Jadi puisi diatas menceritakan suatu hal yang menurut manusia tidak mungkin terjadi. Perhatikan bait pertama puisinya; ini tentang bagaimana ketabahan hujan yang walau ia rindu kepada pohon berbunga, hujan tetap tabah merahasiakan rindunya. Seperti juga seseorang yang memendam rindu – atau cinta mungkin – kepada seseorang dan mungkin seseorang itu terlalu jauh untuk ia gapai.

Hey, apakah saya disini sedang membicarakan keputus-asaan? Nope. Saya justru disini ingin membahas sesuatu yang – mungkin – mencerahkan. Jadi di Istanbul beberapa hari di bulan Juni ini turun hujan yang membuat kami disini malah malas untuk keluar disamping memang sedang minggu-minggu ujian. Jadi maksud saya disini adalah tak ada hal yang tak mungkin di dunia, meminjam sebuah jargon dari salah satu pertai politik: IMPOSSIBLE IS NOTHING. Tak ada hal yang tak mungkin di dunia, kadang mungkin dunia dalam pikiran kita aja yang terlalu sempit. Maybe you could move a little bit; move your feet a little bit to neighbor country (maybe), or move a little bit to neighbor continent. Who knows what surprise(s) you might get. Move a little bit supaya kita bisa melihat bahwa HUJAN BULAN JUNI itu is more than POSSIBLE; supaya dia yang tak terjangkau itu jadi terjangkau. TRUST ME. You should try.

Seperti judul diatas CREPUSCULAR; sebuah kata dalam bahasa inggris yang saya tidak menemukan artinya dalam bahasa Indonesia, crepuscular adalah cahaya matahari yang menyelinap diantara awan diwaktu senja. Kalau bingung akan penjelasan saya silahkan lihat gambar di bawah. Jadi walau sudah senja, matahari juga akan menemukan caranya untuk menyelinap memberi cahaya kepada bumi, walau waktunya sedikit, walau harus menembus kumpulan awan. YOU SHOULD SHINE! WHAT EVER IT TAKES. YOU SHOULD GRAB YOUR DREAM, WHATEVER IT TAKES!

*maaf akan bahasa yang campur-campur disebabkan oleh pikiran saya yang mumet menghadapi ujian. Tapi saya tak tahan untuk tidak menulis. Saya anggap ini sebagai a break membaca materi-materi kuliah. Sigh.

*semua foto di tulisan ini dari mbah google

Crepuscular1606_650x488

Kisah Lengkap Pemuda Ashabul Kahfi: Keagungan Allah, Kehebatan Ali, Kecerdasan Tamlikha

Moeflich H. Hart

*

Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.

View original post 4,754 more words

MUTIA(RA) HARI INI

MUTIA(RA) HARI INI

Di tengah menumpuknya tugas, laptop ngadat, presentasi yang menumpuk, saya menerima pesan lewat whatsapp beberapa hari yang lalu berisi permintaan bantuan untuk menemani rombongan mahasiswa S2 dan S3 Groningen-Belanda yang mau berkunjung ke Istanbul-Turki. Disebabkan mereka telah menghubungi beberapa rakan lain tetapi tidak ada yang bisa, akhirnya saya menyanggupi permintaan tersebut.

Singkat cerita hari ini saya menemani rombongan tersebut jalan-jalan di Istanbul. Jam 10 ketika sedang berada dalam Aya Sofia saya menerima pesan via whatsapp “Mbak akan hadir? Ustadz Yusur Mansur mau ketemu”. Masya Allah, saya ingin sekali ketemu Ustadz Yusuf Mansur tapi mau diapakan rombongan 26 orang ini? Tentu saja saya (dan mungkin orang lain juga) akan memilih hal yang sama: tetap menemani mereka sesuai dengan janji. Well, sebenarnya tidak hanya hal itu yang saya lewatkan hari ini, ada salah dua lagi yang saya korbankan: mengunjungi acara 7th International Student Festival in Istanbul dan Diskusi Mingguan RUHUM “The Power of Ethnography And The Study of Muslim Cultures”. Tapi, saya teringat kata-kata adik saya tersayang Lale Yuyun Puspitasari: kamu ada dua pilihan, mengecewakan banyak orang dan mengecewakan satu orang (dirimu sendiri). Ya, saya pilih mengecewakan diri saya untuk tidak mengecewakan 26 orang keluarga dari Groningen.

Dan hadirlah mutia(ra) mungil ini di rombongan tersebut. Saya: “Adik, namanya siapa? Umurnya berapa? SubhanAllah jilbabnya bagus beli dimana?”. Adik: “Mutia, empat tahun, jilbabnya beli di Indonesia”. Karena tidak tega melihat orangtua mutia yang kelihatan kelelahan mendorong stroller, akhirnya saya berkata kepada mutia: “Mutia, sini jalan aja sama kakak ya, biar jadi anak kuat, anak cerdas, pasti mutia bisa”. Dan sejak dimulai percakapan tersebut kami terus saling bergandengan tangan sepanjang jalan dan ia tetap menolak naik stroller walau orangtuanya memaksa. Percakapan kami tak jauh-jauh: bernyanyi, menghitung anak tangga yang kami naiki sampai dengan percakapan mengenai jilbab. “Adik itu rambutnya keluar, diperbaiki yah, kalau pakai jilbab itu rambutnya jangan ada yang keluar”. Sambil tersenyum dia memasukkan rambutnya yang terurai keluar jilbab. Singkatnya, di akhir waktu menemani keluarga dari Groningen saya minta bersalaman dengan mutia tapi ia menolak. Kecewa tentu ada, dan saya tetap meminta untuk salaman dengan mutia, tetap juga cinta saya bertepuk sebelah tangan. Akhirnya saya menyerah dan ibunyapun bertanya “Mutia kenapa gak mau salaman sama Kak Fatma?” dan ia menjawab sambil berbisik kepada ibunya (kalau saya tidak salah dengar): “Mutia sedih pisah sama Kak Fatma”. Seketika itu saya tidak tau mau menanggapi bagaimana. Walau pertemuan dengan Mutia hanya sebentar, kami berdua merasakan hal yang sama bahwa hati kami berdiskusi dengan tulus.

Benarlah bahwa kita mungkin meminta sesuatu dan Allah tolak untuk memberikan sesuatu itu tapi menggantikannya dengan yang jauh lebih baik. Seperti halnya dulu saya meminta sekolah di benua A atau benua B, tapi Allah menolak memberi salah satu dari keduanya. Dan, Allah memberikan saya benua C yang darinya saya bisa ke benua A dan benua B. Begitu pula dengan hari ini; saya mungkin melewatkan mutiara hikmah dari Ustadz Yusuf Mansur dan dari diskusi mingguan RUHUM. Tapi Allah menggantinya dengan ribuan MUTIA(RA) yang jatuh ribuan kali, DIHATIKU.

*Foto: miniatur keramik kincir angin khas Belanda dari keluarga Groningen.