KEGAGALAN DAN KEYAKINAN: Bukan gagal 1000 kali, tapi langkah 1000 kali.

IMG_0684

Menunduk dan mencermati kegagalan adalah salah satu cara mempersiapkan kesuksesan  Instagram: @lalefatma

Semester akhir belajar di UNSW-Sydney saya akhirnya belajar bahwa kegagalan dan keyakinan adalah pasangan yang tak bisa dipisahkan.

Walau tentara Mongol yang terkenal dengan pameo ‘jika kamu mendengar tantara Mongol kalah, jangan percaya’. Walau pada waktu itu seluruh wilayah Islam telah direbut kecuali Palestina dan Mesir. Dan walau pemimpin Mongol berkirim surat dan mengatakan ‘Kemana kamu akan berlari, menyerahlah, karena usahamu untuk melawan kami akan GAGAL’, Saifuddin Al Qutuz tetap YAKIN bahwa kemenangan Islam ada di tangannya. Sehingga berkatalah ia pada rakyatnya “Aku akan pergi berperang. Barangsiapa yang memilih untuk berjihad, temannya aku. Barangsiapa yang tidak mau berjihad, pulanglah ke rumahnya. Allah akan memerhatikannya. Dosa kehormatan muslimin yang dicabuli akan ditanggung oleh orang yang tidak turut berjihad”. Lalu ia dan rakyatnya mengalahkan tantara Mongol.

Thariq bin Ziyad YAKIN bahwa kemenangan akan berada di pihak Islam walau pasukan lawan yakin ia akan GAGAL karena pasukan Islam kalah jumlah; 5000 dengan 100.000. Dan KEYAKINAN inilah yang membuatnya membakar PERAHU dan berkata ke pasukannya ‘Lautan ada di belakang kalian, sedangkan musuh ada di hadapan kalian. Demi Allah, tidak ada yang dapat kalian lakukan kecuali bersungguh-sungguh penuh keiikhlasan dan kesabaran’. Lalu ia taklukkan Andalusia.

Fetih Sultan Mehmet (Sultan Muhammad Al-Fatih) pernah GAGAL memimpin pasukannya, tapi ia YAKIN bahwa suatu hari nanti tembok Konstantinopel yang tak pernah tertembus selama ribuan tahun PASTI suatu hari akan runtuh. Dan KEYAKINAN inilah yang membuat Sang Sultan memerintahkan pasukannya untuk membuat MERIAM TERBESAR di zamannya dan melakukan hal yang tak pernah terpikirkan orang lain sebelumnya; mengarungkan PERAHU ke bukit Beyoğlu (Galata/Taksim). Lalu ia taklukan Konstantinopel.

Di awal semester lalu saya yakin sekali bahwa project saya akan berhasil. Tapi kenyataanya saya gagal. Tapi dari kegagalan itu, dua minggu yang lalu, di hari Jum’at saya diminta untuk presentsai di depan ratusan mahasiswa internasional di UNSW tentang kisah GAGAL saya tersebut. Di forum tersebut saya bercerita tentang bagian dari project saya yang berhasil dan bagian mana yang gagal. Disana, saya juga mengutip kisah Thomas Alva Edison ketika diwawancarai seorang wartawan setelah berhasil dengan bohlam-nya yang fenomenal: ‘How does it feel to fail 1000 times’ (Bagaimana rasanya gagal 1000 kali?) dan Edison menjawab ‘I didn’t fail 1000 times, the light bulb was the invention with 1000 steps’ (Saya tidak gagal, bohlam adalah penemuan dengan 1000 langkah’). Dan saya kini YAKIN bahwa KEGAGALAN ini adalah salah satu langkah menuju TUJUAN.

Ditulis ditengah tugas-tugas ganas
Sydney, 29 Oktober 2017

BELAJAR BAHASA DENGAN OTAK EKSAKTA

There will always be, at least, one way to simplify every complexity, as Albert Einstein once explained:

You see, wire telegraph is a kind of a very, very long cat. You pull his tail in New York and his head is meowing in Los Angeles. Do you understand this? And radio operates exactly the same way: you send signals here, they receive them there. The only difference is that there is no cat.

Selalu ada cara untuk menyederhanakan hal-hal rumit, seperti kata Albert Einstein:
“Telegraph itu seperti kucing yang sangat panjang. Kau tarik ekornya di New York lalu kepalanya mengeong di Los Angeles. Maka radio bekerja dengan cara yang hampir sama: kau kirim signal di sini, mereka terima sinyalnya di sana. Bedanya hanya tak ada kucing.”

***

Di pertengahan 2014:
Seorang kakak tingkat yang saat itu sedang sibuk-sibuknya dikejar deadline tugasnya di Australian National Uni (ANU) menyempatkan mengedit dan proof reading aplikasi beasiswa yang saya kirimkan via email sebelum di submit via POS (literally kantor POS).
“Kenapa kok Mbak baik banget? Ketemu aja ga pernah. Saya benar-benar ga tau mesti membalas kebaikannya dengan cara apa”, tanya saya.
Mbak penolong (perantara pertolongan Allah) saya menjawab “Kamu akan jadi pembuktian sekaligus pengobat kekecewaan saya sekian tahun meyakinkan orang eksak untuk melamar beasiswa Australia. Tapi saya dikecewakan dengan alasan klasik yaitu Bahasa Inggris.”

***

“Bahasa-bahasa di dunia ini umumnya memiliki pola yang sama, hanya butuh logika dalam permainan ruang, waktu dan gender”. Kira-kira begitu inti percakapan si Lintang dan Ikal dalam novel legendaris Laskar Pelangi.

Sama seperti pemimpi-pemimpi lainnya, buaian mimpi luar negeri terpatri pada diri ini sejak kecil. Hingga kuliah s1, 10 tahun yang lalu pun, tak pernah mimpi ini padam. Kalau redup sering, dan masalah utama keredupannya adalah saat melihat syarat minimal TOEFL atau IELTS untuk melamar beasiswa. Bermimpi untuk menulis essay panjang lebar dalam bahasa Inggris pun tak pernah, saya yang saat sekolah nilai raport nya selalu 60 (dari skala 100) ini cukup tahu diri bahwa saya adalah produk gagal sebuah kurikulum English as a Foreign Language/Second Language dan menjadi realistis kalau semester 5 di jurusan pendidikan fisika sudah terlalu kronis untuk memperbaiki semuanya.

Saat mimpi hampir terkubur, kutipan percakapan di Laskar Pelangi nya mas Andrea Hirata membawa perubahan yang ajaib. Begini kira-kira saya dulu menganalisis penggalan percakapan Lintang dan Ikal di atas:
Bahasa Inggris memberlakukan sekat dalam perubahan pola kata nya untuk masing-masing gender, semisal femina dan masculina di bahasa perancis.

Seorang pengguna bahasa yang sedang berbicara atau menulis, terjebak dalam dimensi waktu sekarang (present), sehingga untuk kembali ke masa lalu atau berandai-andai ke masa depan ia harus memiliki tiket bernama past and future tenses.

Untuk memahami preposisi, saya berimajinasi sebagai sebuah titik di dekat lingkaran besar. Ketika saya sedang bergerak menuju lingkaran maka ada dua kemungkinan yaitu saya terhenti di permukaan (onto) atau saya berhasil masuk inti (into).

Dengan berimajinasi seperti di atas, dan imajinasi-imajinasi spatial lainya, saya adalah kertas kosong yang siap di corat coret warna-warni. Tak ada lagi rumus-rumus tenses yang kalau di hapal puluhan tahun tak nyangkut-nyangkut. Dalam waktu 6 bulan, dengan perspektif yang saya konstruksi sendiri sejak saat itu bisa mengaplikasikan hukum-hukum tenses hanya dengan buku Raymond Murphy: English Grammar in Use, tanpa perlu kursus atau hijrah ke kampung inggris dll.

Semoga bermanfaat.