Dahulu kala, ada sebuah cerita tentang sebuah kabilah yang hidupnya berpindah-pindah—nomaden. Mencari sebuah negeri yang subur untuk didiami. Singkat cerita, kabilah mereka menuju bumi sebelah timur, sayangnya bumi sebelah timur nan subur itu sudah ditempati kabilah lain. Berangkatlah mereka lagi menuju bumi sebelah utara, tapi sayangnya lagi bumi sebelah utara nan kaya itu sudah ada kabilah tangguh. Mereka kemudian dengan gontai menuju ke arah barat, tapi lagi-lagi daerah ini barat dipenuhi dengan benteng yang berat untuk ditembus. Dengan setengah asa untuk mendapatkan tempat yang lebih layak, mereka kemudian menuju ke arah selatan. Mereka sungguh sangat kaget, yang didapati malah gurun pasir tak berpenghujung. Mereka dengan gontai kemudian berbalik arah. Semua arah mata angin sudah mereka jelajahi. Mereka hanya memiliki dua pilihan; menumpang hidup di kabilah-kabilah tersebut dan menjadi budak mereka atau mencari daerah yang mungkin belum sempat terjelajahi.
Suatu hari mereka mendapatkan angin segar bahwa suatu negeri di daerah tenggara terdapat sebuah negeri yang kekayaan alamnya melimpah ruah, hanya saja terdapat satu kesulitan; negeri itu ternyata nun jauh di tengah lautan luas. Mereka harus punya sesuatu untuk menyebrang ke negeri tersebut serta pasokan makanan pun harus memadai. Musyawarah pun digelar, menghabiskan waktu berjam-jam, berhari-hari. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengarungi lautan luas nan ganas itu daripada menanggung malu hidup menumpang di kabilah lain. Nenek moyang kabilah ini mengajarkan mereka untuk tak tmenggantungkan diri pada orang lain. sungguh akan menjadi aib kalau hal itu terjadi. Tapi, sekarang timbul yang jadi kesulitan terbesar adalah bagaimana mereka harus mengarungi laut luas nan ganas itu?
Sementara pemuka-pemuka kabilah terus melakukan musyawarah demi musyawarah, pemuda-pemuda kabilah itu lebih senang berburu dan bersenang-senang daripada harus memikirkan hal yang menjaid tanggung jawab pemuka kabilah. Tapi seperti janji Tuhan Semesta Alam, bahwa setiap apa-apa yang ia ciptakan berpasang-pasangan. Diantara pemuda-pemuda nan bagus paras rupa, ada seorang pemuda berparas biasa saja. Tapi ia sangat senang jika diajak bermusyawarah memikirkan nasib kabilah. Ia senang mendengarkan pemuka-pemuka kabilahnya bermusyawarah. Ia kadang tak ragu menjadi pelayan yang menuangkan minum untuk pemuka kabilah ketika mereka sedang bermusywarah—yang sebenarnya tugas itu adalah tugas kaum wanita kabilah tersebut. Ia pemuda yang lebih senang merenung didalam hutan dibanding pemuda sebayanya yang lebih suka bersenang-senang. Ia merasa tenang, walau tak ada gadis rupawan yang tertarik padanya. Setidaknya alam menjadi teman setianya selama ini. Dan selama ia bisa memberi manfaat kepada kabilahnya, akan sangat cukup membuat hatinya senang.
Iya, mungkin dia tak sepintar teman-temannya yang lain dalam bergaul dengan pemuda yang ada di kabilahnya. Iya, mungkin ia tak sepandai pemuda lainnya untuk menaklukkan hati wanita dibandingkan dengan pemuda lain di kabilahnya. Tapi sungguh, ia mempunyai hati yang mulia. Hari-harinya ia penuhi dengan menyepi ketika berita dari pemuka-pemuka agamanya ia dengar, bahwa ada suatu negeri subur yang akan menjadi masa depan bagi kabilahnya. Ia sedang menyelesaikan sebuah misi. Misi untuk membantu kabilahnya menyebrangi tanah impian. Sampai suatu hari ia datang kepada pemuka kabilah. Ia menyatakan maksudnya. Mula-mula mereka tak percaya, tapi setelah pemuka kabilah tersebut menyaksikan sendiri bagaimana kayu-kayu yang pemuda itu bentuk menjadi sebuah alat yang bisa mengapung di lautan, barulah mereka percaya.
Tak mau menunggu terlalu lama, keesokan harinya mereka pun memulai pelayaran menumbus samudera luas dan ganas. Berhari-hari. Mereka merasakan dingin yang sangat. Lapar yang ditahan. Ikan mentah harus mereka makan hidup-hidup. Tak ada api, karena api sama saja dengan menenggelamkan seluruh anggota kabilah. Sampai tibalah mereka pada suatu daerah yang tak pernah mereka lihat sebelumnya. Suatu daerah yang mereka gambarkan sebagai surga dunia. Sebuah negeri yang sekarang kita kenal dengan nama N-U-S-A-N-T-A-R-A. Sebuah negeri yang seperti namanya; negeri yang diantaranya lautan luas.
Ketika semua orang sibuk bergembira-ria pemuka kabilah datang menghampiri pemuda biasa-biasa saja itu. Pemuka kabilah berterimakasih pada pemuda berhati mulia tersebut. Pemuda itu hanya tersenyum dan memberikan senyum yang penuh arti kepada sang pemuka kabilah. Ia bangga dengan apa yang ia lakukan. Iya betul, ia mungkin pemuda biasa saja, tapi hatinya sungguh luar biasa.
Ia kemudian melanjutkan hari-harinya seperti biasa, mengumpulkan kayu-kayu sebagai bahan ia membuat tempat bernaung, membuat sebuah pondokan. Hingga pada suatu malam ketika ia sedang menatap ayam liar panggangannya matang, seorang gadis cantik jelita menghampirinya.
“Aku diutus ayahku, pemuka kabilah ini untuk mengirim hadiah kepadamu”
Pemuda tersebut melihat beberapa barang yang gadis cantik jelita itu bawa; kacang-kacangan dan umbi-umbian. Ia sangat bersyukur. Makanan yang dibawa oleh gadis jelita tadi cukup untuk ia bertahan seminggu. Ia pun bisa beristirahat seminggu tanpa harus pergi ke hutan. Ia kemudian sibuk kembali dengan ayam panggangnya. Tapi, gadis tersebut masih berdiri di dekat pondokannya. Pemuda tersebut memberikan tatapan heran seakan mengatakan “ya sudah pergi, ngapain disini?”. Sadar dengan tatapan bertanya pemuda tersebut, gadis jelita itu kemudian berkata.
“Ayahku menyuruhku untuk menikah denganmu, menetap denganmu, dan melahirkan anak-anak dengan generasi yang cerdas sepertimu. Agar kelak nanti keturunan kabilah kita mempunyai keturunan yang cerdas-cerdas bukan hanya keturunan yang bagus rupa…”
Oh ya, saya hampir lupa, nama pemuda itu adalah ‘Indo’ dan gadis tersebut bernama ‘Anesia’. Mereka adalah INDONESIA.
—tamat—
Cerita diatas hanya khayalan saya saja setelah membaca sejarah bagaimana Nabi Nuh Ibrahim di utus untuk berdakwah, mengajak bangsa Mesopotamia yang dikenal sebagai peradaban tertua di dunia. Saya seolah-olah membayangkan ada juga kabilah tertentu yang ingin juga memiliki lahan seperti Mesopotamia, maka mereka mencari lahan baru untuk mereka tinggali, menetap dan tidak lagi berpindah-pindah—nomaden. Saya membayangkan bagaimana bangsa Yunani yang nomaden tergiur dengan peradaban Mesopotamia dan akhirnya menemukan I-N-D-O-N-E-S-I-A.
INDONESIA kita adalah surga melebihi negeri yang diantaranya mengalir dua sungai; MESOPOTAMIA. Mesopotamia hanya memiliki dua buah sungai. Sedang Indonesia adalah negeri yang diantaranya LAUTAN. Bukan hanya sekedar sungai, tapi kita punya LAUT!
Hal yang saya ingin sampaikan dari cerita diatas adalah bagaimana bangsa Yunani—yang menurut beberapa sumber sejarah adalah nenek moyang kita—bertarung dengan ganasnya alam, ganasnya lautan luas untuk menemukan Indonesia. Dan sebagai pemuda generasi tangguh itu, jikalau kita masih diam ditempat, kita sebenarnya telah bergerak mundur dibanding dengan nenek moyang kita—yang katanya adalah pelaut handal. Maka patutlah kita seperti mereka. Mengarungi samudera luas nan ganas, menembus daratan stepa dan savana untuk hidup yang lebih baik. Dan, bahwa negeri itu bukan hanya kaya harta tapi juga memiliki pemuda jaya!